Monday, November 07, 2005

[Bisnis] 7 November 2005

  • Inflasi yang naik diluar dugaan hingga mencapai 17,89% pada Oktober 2004 hingga Oktober tahun ini, dikhawatirkan kembali menghambat pasar obligasi yang mulai membaik serta industri reksa dana yang sedang dalam pemulihan. Inflasi yang tinggi akan mengakibatkan tingkat imbal hasil (yield) yang diminta investor akan lebih tinggi. Akibatnya di pasar sekunder obligasi, kondisi itu akan menekan harga surat utang. Semakin meningkatnya yield surat utang yang diminta oleh pemodal membuat harga obligasi semakin merosot. Kenaikan yield merupakan dampak dari kenaikan tingkat bunga. Bank Indonesia kembali menaikkan BI Rate 125 basis poin menjadi 12,25%. Tindakan yang reaktif tersebut tentu saja akan menurunkan peranan pasar surat utang sebagai sumber pembiayaan.
  • Keputusan Bank Indonesia menaikkan BI Rate sebesar 125 basis poin (bps) menjadi 12,25% pada pekan lalu tidak lagi mengejutkan bagi perbankan. Sebagian besar bank bahkan sudah mengantisipasi kenaikan BI Rate sampai ke tingkat 14% dengan lebih dulu menyesuaikan suku bunga.
  • Transaksi saham unggulan Bisnis selama bulan Oktober lalu berlangsung sepi dan kurang atraktif. Ledakan bom di Jimbaran dan Kuta, Bali pada awal Oktober menghambat pergerakan saham Bisnis di bursa. Di sisi lain, kekhawatiran terhadap kenaikan suku bunga AS akibat lonjakan inflasi di negara itu turut membayangi aktivitas jual beli di saham Bisnis. Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM rata-rata sebesar 126% ikut menyulut investor membuang saham blue chips. Begitu juga kebijakan moneter ketat Bank Indonesia turut menghantui investor bertansaksi di saham pilihan.
  • Selama Oktober, indeks BI-40 jatuh 3,3% pada posisi 278,833 dibanding bulan September di 288,376. Disamping faktor bom Bali, peningkatan suku bunga AS, lonjakan harga BBM, serta laju inflasi, kelesuan pasar juga dipicu puasa Ramadhan. Fluktuasi indeks dan kurs saham Bisnis relatif tajam bulan lalu. Sedangkan dampak bom Bali II terhadap transaksi di pasar modal tidak signifikan. Reaksi pelaku pasar hanya bersifat temporer. Yang paling berpengaruh adalah lonjakan inflasi di AS dan bunga Fed. Di samping itu, kenaikan harga BBM di dalam negeri ikut berdampak negatif terhadap pasar saham. Ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM awal Oktober 2005, investor langsung bereaksi negatif membuang sahamnya. Karena kebijakan harga minyak tersebut berpotensi memangkas pendapatan emiten BEJ. Dunia usaha, terutama sektor industri akan kewalahan akibat melambungnya biaya operasional. Apalagi, gelombang penolakan massa dan mahasiswa berlangsung hampir di semua kota besar di tanah air.
  • Bahkan akumulasi berbagai sentimen negatif di atas turut memangkas indeks BEJ 13 poin atau 1,2% menjadi 1.066,224 dibanding periode September di 1.079,275. Hal sama juga menerjang indeks LQ45 yang ikut terpuruk 3,38% dari posisi 235,810 menjadi 227,828. Meski demikian, asing net buying Rp 6 triliun dan rupiah menguat di level Rp 10.115 per dolar AS.