Thursday, March 03, 2005

Tanggal 11 Januari 2005

  • Standard Chartered Bank kembali berniat memburu pelepasan 26,17% saham Bank Permata setelah menguasai 62% saham bank itu, sementara Standard Chartered Plc juga bersaing dengan HSBC Holding Plc untuk membeli Korea First Bank.
  • PT Bursa Efek Jakarta akan meneliti lonjakan harga saham PT Semen Cibinong Tbk yang mencapai 75% menjelang terjadinya pengalihan 77,83% saham dari Holchim ke induk perusahaan Holderfin BV pada 30 Desember.
  • PT Barito Pacific Timber Tbk akan membayar kupon obligasi Rp 33 miliar yang kemarin gagal bayar selambatnya pada Juni 2005 bersamaan dengan pembayaran kupon kedua. Sehingga total pembayaran dengan kupon pada Juni itu akan mencapai Rp 66 miliar. Saham Barito yang disuspensi oleh BEJ kemarin akan dibuka kembali setelah manajemen memberikan laporan penjelasan masalah gagal bayar kupon itu secara tertulis ke BEJ. Sugeng Rijadi, Direktur PT Bursa Efek Surabaya menyatakan, Barito Pacific menghadapi tiga masalah yang mengganggu arus kas perseroan, pertama menurunnya harga plywood di pasar internasional pada triwulan IV tahun lalu, kedua terjadinya perubahan sistem pembayaran oelh pembeli luar negeri, dan ketiga Barito mengalami kesulitan arus kas karena telah membayar amortisasi dan tunggakan pembayaran bunga.
  • PT Astra Internasional Tbk secara konsolidasi memperkirakan dapat membukukan laba bersih 2004 naik 10% dari 2003, sedangkan penjualannya diprediksi melebihi Rp 30 triliun.
  • Profit taking menerjang berbagai saham pilihan Bisnis di BEJ. Pelaku pasar merealisasikan keuntungan yang diraihnya sepanjang pekan lalu. Aksi ambil untung dilakukan pemodal untuk mengamankan investasinya sambil menanti informasi positif segar. Bagaimanapun, lonjakan sejumlah saham blue chips belakangan ini sudah terlampau tajam dan cenderung overbought. Kondisi ini menyulut investor untuk melepasnya guna mendapatkan gain temporer. Kalangan investor memang tak ingin kehilangan gain di depan mata. Hal ini tercermin dari antusiasme mereka membuang saham unggulan.
  • Tekanan jual dimotori kelompok saham BUMN, seperti Telkom, Indosat, Semen Gresik, dan lainnya. Pemodal asing melepas saham kapitalisasi besar di atas dan beralih ke saham lapis kedua. Tindakan asing tersebut diikuti sejumlah investor institusi di dalam negeri. Akibatnya koreksi harga saham unggulan sulit dihindari.
  • Indeks BI-40 terpangkas 1,82% pada 261,848. Total saham Bisnis yang berpindah tangan mencapai 588 juta unit senilai Rp 1,11 trilliun. Asing net selling sebesar Rp 234 miliar. Derasnya tekanan jual asing ikut menjatuhkan indeks BEJ 17,047 poin atau 1,6% di 1.015,478.
  • Sentimen jual pemodal atas saham unggulan selain dipicu faktor teknikal, juga akibat kekhawatiran terhadap membengkaknya biaya pembangunan kembali di Aceh. Apapun alasannya, lonjakan biaya rekonstruksi Aceh bisa menghambat pertumbuhan ekonomi ke tingkat lebih tinggi. Beban pemerintah diperkirakan semakin berat bila puluhan triliun dana disalurkan untuk pembangunan Aceh.
  • Di sisi lain, ketidakpastian soal penghapusan atau penjadwalan utang Indonesia oleh negara donor ikut berimbas negatif di BEJ. Investor menyikapi pro-kontra moratorium dengan menjual saham Bisnis. Bahkan beberapa pemodal aktif mendiskon saham perbankan, terutama saham BCA dan Bank Mandiri menyusul rencana Bank Indonesia memberlakukan kebijakan moneter ketat tahun ini. Ada indikasi Bank Indonesia akan segera menaikkan suku bunga SBI guna mengantisipasi kenaikan suku bunga AS bulan depan. Sentimen jual atas saham bank juga dipicu kenaikan kursnya yang sudah terlampau tajam saat ini.
  • Investor tidak mau mengambil resiko sehingga mereka segera membuang di bursa. Profit taking terhadap saham BUMN dan perbankan telah menghambat laju pergerakan indeks. Harus diakui, aksi ambil untung yang terjadi awal pekan ini merupakan faktor teknikal. Mayoritas saham unggulan kapitalisasi besar sudah mahal. Oleh karena itu, investor langsung mendiskon saham Bisnis untuk membeli kembali di harga yang lebih murah.
  • Bank Indonesia menerbitkan aturan pelaksanaan transaksi fine tune operations (FTO) untuk operasi pasar terbuka bagi bank umum dan pialang. Aturan itu dikeluarkan dalam bentuk surat edaran No. 7/1/DPM sebagai petunjuk pelaksanaan dari Peraturan BI No. 6.33.PBI/2004 tentang Operasi Pasar Terbuka. Surat Edaran BI itu mengatur pelaksanaan transaksi fine tune operations bank umum dan perusahaan pialang pasar uang, serta perusahaan efek yang ditunjuk sebagai peserta lelang Surat Utang Negara di pasar perdana. FTO adalah transaksi dalam rangka OPT yang dilakukan sewaktu-waktu oleh BI apabila diperlukan untuk mempengaruhi likuiditas perbankan secara jangka pendek.
  • Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa mekanisme lelang transaksi FTO dilakukan dengan dua metode, yaitu metode harga tetap (fixed rate) dan metode harga beragam (variable rate). Pada metode harga tetap, tingkat diskonto atau suku bunga transaksi FTO ditetapkan oleh BI sedangkan untuk transaksi metode harga beragam, bank atau pialang harus terlebih dahulu mengajukan penawaran kuantitas dan tingkat diskonto transaksi FTO. Transaksi FTO memiliki jangka waktu 1 hari hingga 14 hari dengan waktu pelaksanaan terbagi menjadi dua sesi, yaitu sesi pagi dan sesi sore. Pihak yang diperbolehkan mengikuti transaksi adalah bank umum yang mengajukan penawaran untuk kepentingan sendiri dan pialang yang mengajukan penawaran untuk kepentingan bank umum.
  • Sementara proses settlemen fine tune dilakukan segera setelah BI mengumumkan hasil lelang transaksi FTO melalui BI-SSSS (Scripless Securities Settlement System - sarana transaksi dengan BI secara elektronik) pada tanggal yang sama dengan waktu transaksi dilakukan. Surat Edaran BI juga mengatur tentang jenis transaksi FTO yang boleh dilakukan, yaitu transaksi fine tune kontraksi dan transaksi fine tune ekspansi. Untuk fine tune kontraksi, transaksi dilakukan dengan sistem diskonto melalui perhitungan jumlah hari sesuai kalender. Sedangkan untuk fine tune ekspansi, transaksi dilakukan melalui perdagangan SBI atau SUN berdasar prinsip penjualan Surat Berharga untuk dibeli kembali.
(Sumber: Bisnis Indonesia)